DIA
ITU “MATAHARIKU”
Aku
tak menyesal jika dia pergi tanpa mengatakan apapun, tapi aku menyesal dia
belum tahu isi hatiku sampai dia kembali.
Tak
terasa telah tiga tahun aku sekolah disini. Senang, susah, sedih kulalui
bersama teman-teman setiaku. Esok kami akan berjuang demi masa depan yang kami
inginkan.
“kamu
mau masuk kuliah dimana Dimas?”
“
aa..ku? “ jawabku dengan terbata-bata
“iya,
kamu? Sapa lagi? “ tanyanya lagi
Dia adalah perempuan itu, perempuan
yang aku bisa bilang adalah matahari. Kenapa ? karena setiap aku memandang
senyum lebarnya itu bagaikan sinar mentari pagi. Namanya Jihan, perempuan
berkerudung yang wajahnya putih bagaikan kapas. Aku terpikat oleh keanggunan
langkahnya, mata yang bersinar itu juga membuatku kaku tak berdaya. Andaikan aku
bisa. Aku pasti sudah bilang suka padanya.
“ hai..kamu belum jawab? Kenapa
malah bengong?”
“
heheheh.. sorry..sorry, fakultas hukum”
jawabku sambil memalingkan mata o’on yang memandangi wajahnya.
Iya aku memang jujur suka padanya
sejak masuk di kelas tiga ini. Tapi apa daya, aku hanyalah laki-laki yang tak
mampu bicara soal cinta. Kalau disuruh menghafal pasal-pasal dalam
Undang-Undang aku akan lakukan, tapi kalau masalah cinta? Aku angkat tangan sembari lari bersembunyi.
Tak ku sangka aku akan berpisah dari
semua kelucuan ini, pisah dengan teman-teman mengasyikkan ini, juga dengan
Jihan. Kami semua berdoa untuk keberhasilan kami esok sewaktu ujian. Doa siang
ini membuatku meneteskan air mata, begitu juga Jihan yang ku lihat di barisan
sampingku sekitar tiga orang memberi jarak. Dia menutupi wajahnya dengan
menunduk dan tangan yang menengadah meminta doa.
Setibanya dirumah aku langsung mandi
dan mencari sesuatu. Sebuah album kenangan yang lupa aku taruh dimana. Kucari
pada setiap sudut ruangan kamarku tapi aku tak menemuinya. Ku simpan dimana,
dasar tolol!. Hal sekecil ini aku bisa lupa menaruhnya dimana.
Lama aku mengobrak-abrik kamarku.
Dimana..dimana..dimana... sembari mencari aku jadi teringat lagu Ayu tingting.
Hyaat... ketemu. Alhamdulillah akhirnya ketemu juga.
Ku balik lembaran demi lembaran dan
berhenti pada satu lembaran indah yang terhias tulisan “BestFriend” . Di
lemabaran ini ada fotoku bersama dia. Jihan terlihat manis menggunakan kerudung
merah marunnya. Aku tersenyum hingga mataku tak mengedip sekalipun. Awalnya aku
hanya berfikir tentang kisah senang kita berdua waktu hunting tourist bersama.
Iya hunting tourist, foto itu diambil waktu kita satu kelompok hunting tourist.
Aku terimakasih pada tugas itu karena berkat tugas yang diberikan, kami dapat
foto bersama dan dapat kusimpan sebagai hadiah terindah darinya.
“Dimas...toktoktok..” ibu mengetuk
pintu dan terdengar seperti menyuruhku untuk makan malam.
Aku melihat keatas langit-langit
kamarku. “esok adalah perjuanganku untuk menggapai masa depanku, tapi dia?”
pikiranku seketika buyar ketika teringat Jihan. Aku masih berpikir juga tentang
ujian yang akan kulakukan esok. Tapi dilain pihak aku ingin mengutarakan
perasaan ini. “apakah tepat jika aku ganggu konsentrasi dia dengan perasaan
yang hadir lagi ini?”..Nampak buku yang ku baca ini telah membuatku tetap
konsentrasi pada ujian.
“
Diimassss.... bangun! Hari ini kamu ujiankaaan” ibu ngetok pintu dengan
keras.
“
iya buu... Dimas udah bangun kok” sembari memakai dasi dan menyiapkan
perlengkapan ujian.
Ayah
dan ibu menciumku dengan berkata kamu pasti bisa. Adekku cewek satu-satunya
pun jadi ikut ngledekin aku, selamat menempuh ujian katanya. Mungkin
semua tahu perasaan tegangku, makanya mereka bantu aku buat ngerileksin
pikiran aku dengan sedikit bercanda.
“
Siapkan perlengkapan kalian” Pengawas mengatakan sembari melihat para siswa
dengan teliti. Mungkin takut ada yang bawa contekan.
Aku
seruangan denganya. Jihan nampaknya tenang tanpa ada muka gelisah sedikitpun.
Sedangkan aku? Mungkin campur aduk tak karuan.
“
Teeeettttt..” Bel ujian sudah berbunyi dan kita mulai perang ini.
Empat
hari berlalu, dan berlalu juga perang itu.
“
Diiimmmaaasss..” Sapa Jihan setelah keluar kelas.
“
hai Han, gimana ujianmu?” Jawabku dengan nada basa-basi
“
menurutmu? Mungkin sama seperti perasaanmu.” Jawabnya dengan senyum lebar
manisnya itu.
“
jalan yuk ! “ Ajakanya dengan memegang pundakku.
What? Jalan sama Jihan ? gag salah
? perasaan kaget dengan senang
menghantuiku seketika. Kata dia mengisi satu bulan waktu pengumuman kelulusan
jadi dia ngajak aku jalan-jalan sekalian cari kampus.
Dengan senang hati aku menerimanya.
Aku jalan sama dia seperti mimpi terbang ke angkasa memetik bulan. Nyaman,
seneng, bahkan lucu banget jalan sama dia. Ternyata dia lebih dari apa yang aku
bayangkan selama ini.
“ tolelottolelot.....tolelottolelot...”
Suara handphoneku berbunyi tanda ada sms. “ Dim, kamu dimana sekarang.
Jangan kaget ya denger kabar ini” Sms dari Gea membuatku penasaran dan segera
aku balas. “ aku dirumah, emang kenapa? Kok kayaknya serius.” Jawabanku
agak penasaran. Lama Gea tak membalas, mungkin berfikir untuk merangkai
kata-kata kejutan padaku. “ Jihan kecelakaan Dim..” Jawaban singkat Gea
membuatku sontak tergolek lemas dengan tak sadar aku menjatuhkan Hpku ke
lantai.
Aku berlari keluar kamar, hingga tak
sadar mulut ini terus meyebut nama Tuhan. Jihan? Kecelakaan? Bukankah dia
kemarin menemaniku ke kampus untuk mendaftar kuliah? Pikiranku buyar dengan terus konsentrasi ke
jalan yang ramai penuh kendaraan.
Aku tiba di Rumah Sakit lebih cepat
dari biasanya aku naik motor. Ruangan Melati nomer 22, kamar tempat Jihan
dirawat.
“ Dim..” Sapa Gea sahabat Jihan
“ Gea, kenapa bisa Jihan kecelakaan ?”
mataku berlinang
“ ceritanya panjang Dim.” Jawab Gea
dengan wajah tak mampu bicara lagi.
Gea tahu Jihan akhir-akhir ini dekat
denganku. Jadi dia mengabariku. Dia bercerita singkat kenapa Jihan bisa
kecelakaan. Dia lari dari ayahnya yang ternyata ingin menikahinya dengan anak
orang kaya. Aku baru tahu bahwa ayah jihan memiliki sifat buruk, Jihan tak
ingin dikekang jadi dia lari dari rumah. Tapi takdir tak dapat di tebak. Mobil
hitam itu menghantam tubuh Jihan hingga terpental.
“ Dokter bagaimana keadaan teman saya?”
Kataku penasaran dengan pikiran semoga Jihan baik-baik aja.
“ Maaf, pasien mengalami pendarahan
hebat, jadi pasien..” Dokter tak sempat melanjutkan perjataanya, kami langsung
berlari keranjang Jihan terbaring kaku.
Iya malam itu, setelah aku mulai dekat
dengan Jihan, Tuhan memanggilnya. Rasa menyesal datang. Ketika rasa sukaku pada
Jihan mulai tumbuh sederas air terjun. Dia harus pergi. Aku tak menyesal dia
meninggalkanku tanpa pesan, tapi aku meyesal ketika rasa cintaku padanya belum
sempat kuutarakan. I Love You Jihan. Kau matahariku. senyummu mungkin tak bisa
digantikan oleh orang lain. Kenangan singkat kita mungkin akan jadi kenangan
terindah untukku dan mungkin juga untukmu. Kau kembali untuk hidup bahagia
dengan kekal.